Banda Aceh – Tim dari negeri
jiran Malaysia yang berjumlah 4 orang berkunjung ke Banda Aceh untuk
mempelajari penerapan Syariat Islam di Kota Madani ini. Mereka disambut oleh
asisten II Setdakota Banda Aceh Bidang Keistimewaan, Ekonomi & Pembangunan,
Ir Gusmeri MT dan beberapa pejabat SKPD, Rabu (28/9/2016) di Ruang Rapat
Walikota.
Rombongan ini terdiri dari mantan
anggota parlemen Kerajaan Malaysia era Anwar Ibarahim, Datok Ahmad bin Kasim
yang juga berperan sebagai ketua rombongan dan saat ini menjabat sebagai kepala
Biro Pemahaman dan Pemantapan Agama Kerajaan Malaysia. Kemudian Dr Hasan Bahrum
dari Partai Amanah Negara, serta Mohd Zawawi
dan Mohd Muzakki dari Partai Keadilan Rakyat.
Datok Ahmad bin Kasim mengatakan mereka ingin mempelajari bagaimana proses dan
tahapan dari awal yang dilakukan pihak terkait di Aceh hingga bisa menerapkan
Syariat Islam di Bumi Serambi Mekah ini.
“Sebagaimana kita tahu bahwa Aceh
berada di bawah pemerintahan Republik Indonesia yang bukan merupakan negara Syariah.
Nah, bagaimana pihak Aceh mengurus administrasi dan segala hal lain yang
berkaitan kepada pemerintah pusat? Dari cara ini nantinya akan kami rintis di
Malaysia. Dan apakah ini kehendak masyarakat atau hanya pihak penguasa saja?”
kata Datok Ahmad.
Menjawab hal tersebut, Kepala
Dinas Syariat Islam(DSI) Kota Banda Aceh, Mairul Hazami mengatakan bahwa
perjuangan Syariat Islam di Aceh sudah sangat lama yaitu sejak pertama kali
Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Sebagai daerah yang berjasa
dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia, Aceh meminta syarat kebebasan
menerapkan Syariat Islam saat bergabung dengan NKRI. Dan Hal ini disetujui oleh
pesiden Soekarno saat itu,” ujar Mairul Hazami.
Namun janji tersebut, lanjut Mairul, tidak
terealiasi saat Aceh sudah resmi bergabung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) hingga terjadi beberapa gerakan melawan pemerintah pusat. Perlawanan
ini menyebabkan konflik berkepanjangan hingga puluhan tahun di Tanah Rencong
ini.
“Setelah perjanjian MoU Helsinki dan disahkan Undang-undang pemerintahan Aceh
(UUPA) yang di dalamnya jugat terdapat poin-poin tentang Syariat Islam, baru
lah kita benar-benar bisa menerapkan Syariat Islam. Di situ kita bisa
merumuskan peraturan daerah yang dinamakan Qanun yang mengatur tentang Syariat
Islam, pendidikan dan adat. Namun syariat islam belum sepenuhnya menyentuh
segala aspek, kita masih berproses untuk menuju penerapat Syariat Islam yang
kaffah,” kata Mairul.
Sekretaris Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Banda Aceh, Drs T Angkasa menjelaskan
bahwa saat ini penerapan Syariat Islam telah menyentuh dunia pendidikan. Hal
ini diterapkan melalui Pendidikan Diniyah yaitu pemantapan ilmu-ilmu keagamaan
di luar pelajaran formal sekolah di setiap sekolah-sekolah dari SD, SMP, dan
SMA. Ia mengatakan Pendidikan Diniyah yang telah dimulai sejak tahun 2011 ini
berdampak signifikan terhadap siswa-siswi di Kota Banda Aceh.
Sementara itu Ketua Majelis adat
Aceh (MAA), Sanusi Husen Islam telah mendarah daging pada masyarakat Aceh sejak
dulu. Oleh karena itu, katanya, penerapan Syariat Islam merupakan keinginan
rakyat Aceh sangat sejalan dengan adat dan istiadat setempat.
“Saat ulama-ulama dari Arab dan
Persia dulu membawa Islam ke sini, saat itu masyarakat Aceh beragama Hindu. Mereka
berdakwah tidak menghilangkan budaya-budaya yang sudah ada, namun budaya
tersebut diislamisasikan hingga Islam cepat diterima di sini. seperti Peusijuk yang dulunya berisi
manta-mantra diganti dengan doa-doa kepada Allah. Jadi agama dan adat sangat
melekat erat. Dan setiap pembahasan Qanun-qanun juga melibatkan tokoh-tokoh
adat,” imbuh Sanusi.

